tvxq

tvxq
always keep the faith

Selasa, 30 April 2013

FF YunJae MiddleSex


PROLOG

Hai, namaku Kim Jaejoong. Aku terlahir dua kali di dunia ini. Pertama pada tanggal 4 Februari 1986 di Seoul Hospital, dini hari di musim dingin. Aku adalah anak kedua dalam keluarga Kim. Anak yang selama ini ditunggu-tunggu oleh keluarga besarku. Dan aku mempunyai seorang kakak laki-laki bernama Kim Yoochun. Selisih umur kami hanya terpaut lima tahun.

Dan yang kedua, aku terlahir di ruang UGD sebuah rumah sakit kecil di Gwangju, pada musim panas tanggal 23 Desember 2001. Yang kemudian membuka rahasia besar dalam diriku…

>>>>> 


Title    : MiddleSex (YunJae Version)
Author : Ree
Genre  : Temukan sendiri (^o^)
Rating : Menyesuaikan XD
Cast    :
-          Kim Hyun Joong
-          Kim Hye Jin
-          Choi Siwon
-          Choi Min Ha

-          Kim Hankyung
-          Choi Heechul
-          Kim Chae Rim
-          Shin Seung Hoon

-          Kim Jaejoong
-          Jung Yunho
-          Kim Yoochun
-          Jung Junsu
-          Shim Changmin


-          De el el

Warning :
Bisa menimbulkan gejala migrain, stress, pusing, mual, kejedug tembok, capslock jebol, banting pepe, compie or lappie, de el el. Saya tak menerima bashing. Bagi yang tak kuat baca, lebih baik tak usah baca. ^^

>>>>> 


# Chungnam, 1940

Di sebuah kaki bukit di daerah Chungnam, Hyun Joong hidup bersama kakak perempuannya, Hye Jin. Mereka hanya hidup berdua, tanpa sanak saudara. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka beternak ulat sutera, keahlian turun temurun dalam keluarga Kim.

“Hyun Joong, kupikir kau sudah cukup dewasa untuk menikah,” ucap Hye Jin pada suatu hari.

“Eh? Menikah?” tanya Hyun Joong sedikit bingung.

“Ne. Aku berencana menjodohkanmu dengan beberapa orang gadis di desa kita. Tak ada salahnya kan mencoba, hmm?”

Hye Jin mengacak pelan rambut Hyun Joong, sementara Hyun Joong masih terpaku ditempat duduknya.

Hyun Joong menatap Hye Jin yang berjalan perlahan kearah daput. Rambutnya yang hitam lurus dibiarkan tergerai, Kulit putihnya bercahaya ditempa sinar matahari pagi. Kakaknya memang cantik. Satu-satunya wanita tercantik yang pernah ia temui selama hidupnya.

Tak lama kemudian ia beranjak dari tempat duduknya. “Nuna, aku mau ke pasar menjual hasil ulat sutera kita…”

“Ne, hati-hati di jalan,” ucap Hye Jin.

>>>>> 

Few days later…

“Hyun Joong, apa yang kau lakukan, huh?” bentak Hye Jin pada adiknya

“Waeyo? Kenapa nuna marah-marah seperti itu padaku?” tanya Hyun Joong santai.

“Kenapa kau menolak semua gadis yang aku pilihkan untukmu?”

“”Ah… itu…”

Hyun Joong menuntun Hye Jin menuju kursi.

“Aku sama sekali tak tertarik pada mereka, nuna.”

“Mwo?” Hye Jin mengerutkan kedua alisnya.

“Tiffany, dia gadis yang jorok, lihat saja tubuhnya yang dekil itu. Lalu Ahra, aigo! Dia benar-benar gadis manja. Dan terakhir Jessica, apa nuna tak pernah mendengar kabar yang beredar tentangnya? Dia itu matre, kerjanya hanya menguras kantong laki-laki yang didekatinya. Nuna menyuruhku memilih salah satu diantara mereka untuk kujadikan pendamping hidupku? Hah, yang benar saja!”

“Hyun…”

“Lalu bagaimana dengan nuna? Apa nuna bahagia bila aku menikah? Nuna sendiri sampai sekarang juga belum menikah. Nuna adalah satu-satunya perawan tua di desa kita ini!”

“Cukup Hyun!” teriak Hye Jin.

“Aku tak akan menikah selain denganmu, nuna. Aku… aku mencintaimu…”

“MWO?” Hye Jin membulatkan matanya tak percaya. Ia masih terpaku dalam duduknya ketika Hyun Joong tiba-tiba memeluknya erat setelah mengucapkan kata-kata yang sulit dipahaminya.

“Hyun Joong, apa yang kau…”

“Nuna!” sela Hyun Joong. “Jangan mengelak lagi, nuna, kumohon. Aku tahu nuna diam-diam menangis ketika malam itu aku bertemu dengan ketiga gadis itu untuk membahas perjodohan yang telah nuna rencanakan. Itu sebuah bukti bukan? Bukti bahwa selama ini nuna juga memendam perasaan yang sama padaku.”

“Aku…”

“Katakan bahwa nuna juga mencintaiku.”

“Hyun… ini salah… ini… ini tidak mungkin. Kau adikku, Hyun!” ujar Hye Jin lirih, ia menundukkan wajahnya untuk menutupi matanya yang dirasa sudah mulai berkaca-kaca.

“Aku tak peduli nuna…”

“Aku tak yakin dengan semua ini. Aku… hmmphhh… Hyunn…  ngggmpp…”

Hyun Joong melumat ganas bibir kakaknya itu, sementara tangannya juga tak tinggal diam. Dijelajahinya seluruh bagian-bagian sensitive milik Hye Jin. Sesekali Hye Jin melenguh dan meringis mendapat perlakuan yang tiba-tiba seperti itu.

Malam itu, di malam kelabu yang disertai hujan deras, sebuah takdir dimulai. Takdir yang tak pernah terlintas di benak mereka sebelumnya. Tapi mungkin mereka tak sempat memikirkan akibat dari perbuatan mereka malam itu. Hidup berdua selama belasan tahun sudah cukup menjadi alasan bagi mereka untuk bersatu dan saling melepas birahi.

“Aku akan bertanggung jawab nuna. Aku akan menikahimu. Dan kita akan memulai hidup baru di tempat lain, dimana tak seorangpun mengenali kita. Saranghae…”

Hyun Joong mengecup puncak kepala Hye Jin, lalu mendekapnya erat ke dalam pelukannya.

>>>>> 

Esok harinya Hyun Joong dan Hye Jin pergi ke stasiun. Mereka berencana untuk menetap di Seoul dan menikah disana. Kehidupan baru telah menanti mereka…

*****TBC*****



PART 1


# Seoul, 1940

Setelah tiba di Seoul, Hye Jin mengajak Hyun Joong pergi ke rumah salah seorang sahabatnya yang dulu juga berasal dari Chungnam. Mereka tak tau harus tinggal dimana, sementara mereka juga belum mengerti seluk beluk kota tersebut. Untungnya sahabatnya, Min Ha bersedia menerima mereka berdua.

“Maaf merepotkanmu,” ucap Hye Jin.

“Ah, tak apa. Aku senang bisa membantu kalian. Ayo masuk,” ajak Min Ha. Mereka bertiga memasuki sebuah rumah yang bisa dikatakan cukup mewah pada saat itu.

“Tapi, apakah suamimu tak keberatan jika kami tinggal disini?”

“Aku akan bicara dengannya nanti. Kita kan sama-sama dari Chungnam, mana tega aku membiarkan nasib kalian terombang-ambing tak jelas di kota besar seperti ini. Jangan khawatir. Nah, ini kamar kalian,” Min Ha membuka knop pintu sebuah kamar yang terletak di lantai dua. Kamar itu cukup luas.

“Kalian pasti lelah setelah menempuh perjalanan panjang, istirahatlah. Aku akan menyiapkan makan malam.”

“Aku akan membantumu.”

“Baiklah, kajja…” Min Ha berjalan ke luar kamar diikuti Hye Jin dibelakangnya.

“Hyun, tolong kau rapikan pakaian kita yang ada di koper. Letakkan di lemari, ne?” ujar Hye Jin pada Hyun Joong sebelum ia benar-benar menghilang di balik pintu.

“Ne.” jawab Hyun Joong singkat.


Sementara itu dua yeoja cantik tengah memasak di dapur. Tak afdhol rasanya, jika tak ada suatu perbincangan di antara mereka.

“Kau yakin akan menetap di Seoul?” tanya Min Ha.

“Nde. Kami ingin memulai hidup baru disini.”

“Bersama Hyun?”

Hye Jin mengangguk pelan.

“Aku melihat ada sesuatu yang aneh pada kalian berdua. Ayo ceritakan padaku,” desak Min Ha.

“Min Ha… sebenarnya aku sudah menikah dengan Hyun…” ucap Hye Jin lirih.

“Mwo?” Min Ha membelalakkan kedua matanya. “Kau bercanda, Hye Jin?”

“…”

“Bagaimana bisa? Dia itu adikmu, ‘kan?”

“Aku… aku juga mencintainya sudah sejak lama. Kau tahu sendiri kan, kami hanya tinggal berdua selama belasan tahun tanpa asuhan orangtua di gubuk kecil itu.”

“Tapi, tetap saja kalian masih ada hubungan sedarah…”

“Berjanjilah untuk menjaga rahasia kami, kumohon…”

“…”

“Oh iya, bukan kah kau sudah lima tahun menikah. Kenapa…”

“Aku tak mau hamil Hye Jin.”

“Ye?” Hye Jin menautkan alisnya tak mengerti.

 “Aku tak ingin tubuhku yang kini proporsional, berubah bentuk karena kehamilan. Entahlah, akhir-akhir ini aku malas melakukannya dengan suamiku.”

Keduanya pun melanjutkan acara memasak mereka dalam keheningan.

>>>>> 

Choi Siwon, suami dari Min Ha, menerima Hye Jin dan Hyun Joong dirumahnya dengan tangan terbuka. Ia bahkan membantu mencarikan Hyun Joong pekerjaan. Selama beberapa bulan mereka hidup dalam kebahagiaan.

Di suatu malam, keempat orang tersebut membeli tiket untuk menonton suatu drama berjudul The Minotaur (saya juga tak tahu ini jenis drama apa, yang pasti HOT, :D). Namun, sebelum babak kedua dimulai, Hye Jin bersikeras ingin pulang.

“Dimana sisi menariknya pertunjukan itu? Hanya mempertontonkan tubuh-tubuh yang telanjang saja…” ujarnya.

Sesampainya di rumah, mereka masing-masing melakukan aktifitasnya untuk pergi tidur. Entah karena pengaruh menonton pertunjukan tadi atau apa, yang jelas kedua pasangan suami istri itu terbawa khayalan mereka.

Malam itu menjadi malam yang sangat menentukan bagi mereka. Hyun Joong berada pada posisi miring, sedangkan Min Ha posisi tengkurap. Kedua pasangan yang hanya dipisahkan oleh tembok kamar itu, melampiaskan apa yang baru saja mereka lihat (dengan pasangan masing2 tentunya).

Tak lama setelah malam itu, gejala mual-mual di pagi hari mulai nampak pada kedua wanita cantik itu. Kehamilan membuat para suami begitu gembira.

Namun disaat seperti itu, Hyun Joong malah dipecat dari pekerjaannya sebagai teknisi di sebuah perusahaan mobil. Ia tak tahu harus mencari pekerjaan kemana lagi. Ia juga tak mungkin mengatakan hal ini pada Hye Jin.

Siwon yang mengetahui hal ini, mengajak Hyun Joong untuk bekerja bersamanya. Awalnya Hyun Joong menolak tawaran tersebut. Ia merasa sudah cukup banyak merepotkan Siwon. Namun Siwon bersikeras memaksanya. Bagaimana Hyun Joong bisa menghidupi istri dan calon bayinya jika ia tak bekerja. Akhirnya Hyun Joong pun menyetujui tawaran Siwon.


“Jadi, ini pekerjaanmu selama ini?” tanya Hyun Joong kaget.

“Jangan kaget seperti itu. Dari pekerjaanmu ini, aku bisa mendapatkan banyak uang.” Jawab Siwon santai.

“Tapi, bagaimana jika ada razia polisi?” mimik khawatir Hyun Joong nampak jelas di wajahnya.

“Kau tenang saja, kita tak akan melewati jalan biasanya. Kau lihat disana,” tunjuk Siwon kearah danau. “Ini masih musim dingin, air di danau itu masih membeku. Kita akan lewat sana. Kajja…”

Keduanya pun memasuki mobil Siwon.

>>>>> 

At another place…

“Kalian yakin melakukannya di malam yang sama?” tanya dokter Shin, dokter pribadi keluarga Choi Siwon.

“Ne, mungkin karena pengaruh drama itu,” celetuk Min Ha.

“Jangan sesumbar soal sandiwara itu,” tegas Hye Jin.

“Jika kalian benar melakukannya di malam yang sama, peluangnya satu berbanding seratus. Kehamilan memang hal yang menarik untuk dibicarakan. Tentang kelahiran bayi, misalnya, orang-orang pada masa lampau mengira bahwa factor kelainan pada bayi mereka disebabkan oleh apa yang mereka bayangkan selama masa kehamilan. Ada sebuah cerita dari Damaskus, seorang wanita hamil memasang gambar orang yang memakai busana bulu-bulu tradisional. Wanita itu tak sengaja melihat gambar tersebut. Ketika anaknya lahir, tubuhnya dipenuhi bulu layaknya beruang.”

“Itu tak mungkin terjadi ‘kan?” tanya Hye Jin, tiba-tiba kecemasan menghinggapi dirinya.

Dokter Shin mengabaikan pertanyaan Hye Jin, ia kemudian meneruskan, “Ada lagi cerita lain. Seorang wanita menyentuh kodok ketika sedang bercinta. Bayinya lahir dengan mata melotot dan tubuh berbintil-bintil..”

Gurat-gurat kekhawatiran nampak jelas di wajah Hye Jin.

“Tapi kalian tak usah khawatir, Semua omong kosong itu berasal dari zaman kegelapan. Sekarang kita semua sudah tahu bahwa sebagian kelainan pada bayi dikarenakan orangtuanya yang berbagi darah yang sama,” jelas dokter Shin.

“Mwo?”

“Yah, pernikahan sedarah. Seperti itulah…”

Wajah Hye Jin makin memucat.

“Itulah yang menyebabkan berbagai macam masalah. Lihat saja keluarga kerajaan Inggris. Lihatlah keluarga kerajaan manapun. Semuanya mutan.”
>>>>>

“Aku sudah melupakan apa yang kupikirkan malam itu,” ujar Hye Jin ketika keduanya berada di dapur.

“Kalau begitu, jangan cemas.”

Hye Jin menyalakan kran air untuk menyamarkan suaranya. “Tapi, bagaimana dengan perkawinan… perkawinan…”

“Perkawinan sedarah.”

“Ne. Bagaimana kita bisa tahu bayiku normal atau tidak?”

“Kita tak akan tahu sebelum bayimu lahir,” jawab Min Ha.

Hye Jin diam mematung.

“Memang kau pikir, kenapa pernikahan antara kakak dan adik itu dilarang? Bahkan, sepupu pertama yang ingin menikah pun harus mendapat persetujuan terlebih dahulu.”

“Kupikir itu karena…”

Hye Jin terdiam, ia tak tahu jawabannya.

“Sudahlah, jangan cemas. Dokter itu hanya membual.” Kata Min Ha berusaha menenangkan.

***** TBC *****



PART 2


Hye Jin berdiri di dekat jendela kamarnya, dan memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa.

“Ya Tuhan, kumohon… jangan biarkan bayiku menderita hemophilia, atau kelainan apapun. Aku berjanji tidak akan memiliki anak lagi. Cukup satu ini…”

>>>>> 

Tiga puluh tiga minggu.  Di dalam kolam renang rahim, para bayi mulai menjungkir balikkan badan, menghadapkan kepala mereka ke bawah. Namun, Min Ha dan Hye Jin yang memulai kehamilan pada saat yang bersamaan, akhirnya berpisah jalan.

Min Ha melahirkan lebih dulu. Bayinya perempuan. Tapi karena berat badan bayi itu kurang dari dua kilogram, maka harus dimasukkan incubator selama seminggu.

Siwon mendekati incubator. Ia membungkukkan badannya dan menatap bayi itu dengan memicingkan matanya.

Tak lama setelah itu Siwon mengajak Hyun Joong pergi.

“Bersiaplah. Kita harus bekerja malam ini.”

“Siwon… aku… aku tak mau lagi,” ujar Hyun Joong lirih.

“Wae?” Siwon membalikkan tubuhnya dan menatap tajam pada Hyun Joong.

“Dua kali kita hampir tertangkap. Kita tak tahu apakah selanjutnya kita akan selamat atau tidak. Lebih baik kita mencoba pekerjaan lain saja.”

“Dasar bodoh. Bilang saja kau takut.”

Siwon pun pergi meninggalkan Hyun Joong yang masih terdiam membeku di tempatnya.

>>>>> 

Seminggu setelah persalinan Min Ha, Hye Jin sedang bersiap-siap untuk menemui makhluk yang bersembunyi di dalam rahimnya.

Di Women’s Hospital, ia menjalani persalinan selama enam jam. Tak lama kemudian suara tangisan bayi pun terdengar.

“Selamat, bayimu laki-laki,” ucap sang dokter.

Hye Jin pun bernafas lega.


Pagi ini secara kebetulan bayi So Eun dikeluarkan dari incubator. Seorang perawat menggendong kedua bayi itu. Bayi laki-laki diberi nama Hankyung, sedangkan bayi perempuan diberi nama Heechul. Namun ada satu hal penting. Sesuatu yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Lihatlah lebih dekat.

Bayi itu telah mengalami mutasi.

>>>>> 

Malam dimana Min Ha dan Hye Jin membawa bayi mereka pulang kerumah, dua orang polisi datang menyambagi mereka. Siwon mati. Ia melarikan diri ketika polisi mengejarnya, setelah menemukan beberapa box senjata api illegal di dalam mobil Siwon. Ia tertembak, dan langsung rubuh seketika.

Kesedihan menghinggapi keluarga itu. Choi Heechul akan tumbuh besar tanpa ayahnya.

>>>>> 

Pada awal-awal kehidupan mereka, Hankyung dan Heechul tumbuh besar bersama. Mereka berbagi kamar mandi, berbagi crayon, bahkan berbagi selimut bersama.


“Min Ha…” ucap Hye Jin pada suatu hari, pipinya merona.

“Mwo?”

“Uhm… tidak jadi.”

“Tidak boleh tidak jadi. Cepat katakan.”

“Aku sedang berpikir. Bagaimana kita bisa… jika tak ingin…” Hye Jin berusaha mengungkapkan kekhawatirannya. “Bagaimana kita bisa mencegah kehamilan?”

Min Ha menahan tawa. “Selama kau menyusui, kau tak kan hamil.”

“Tapi setelah itu, bagaimana?”

“Gampang. Jangan tidur dengan suamimu.”


Sejak kelahiran bayi mereka, Hye Jin dan Hyun Joong berhenti bercinta. Awalnya Hyun Joong memahami keadaan istrinya itu, Hye Jin terbangun semalaman untuk menyusui, ditambah alat kelaminnya yang terluka sewaktu persalinan dan butuh waktu untuk sembuh. Hyun Joong juga berusaha untuk tidak melontarkan kata-kata yang memancing gairah.

Namun setelah dua bulan, ia mulai menghampiri Hye Jin di ranjang. Hye Jin menghindarinya selama yang bisa ia lakukan. Ia teringat sumpahnya untuk tidak memiliki anak lagi.

“Ini terlalu cepat,” ucap Hye Jin. “Kita belum ingin punya bayi lagi.”

“Waeyo? Hankyung butuh adik.”

“Kau akan membuatku kesakitan.”

“Aku akan melakukannya dengan pelan-pelan. Kemarilah.”

“Tidak. Kumohon, jangan malam ini.”

Hye Jin mulai menangis terisak. Hyun Joong pun meminta maaf dan menenangkannya. Sejujurnya, ia begitu cemburu pada bayinya sendiri. Bayi itu berhasil merebut perhatian Hye Jin tanpa harus melakukan apa-apa.

>>>>> 

# Seoul, 1945

Hye Jin melakukan segala cara untuk menghindari Hyun Joong. Ia bahkan menyusui Hankyung lebih dari tiga tahun. Namun, terkadang rasa bersalah menikah dengan Hyun Joong bertabrakan dengan rasa bersalahnya tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai istri. Ada saat dimana ia membutuhkan kenyamanan dan pelampiasan fisik.

Dan pada sebuah malam di musim panas, hal itu kembali terjadi. Ia hamil, lagi.

Hye Jin merasa tersiksa. Ia takut bayinya akan mengalami kelainan yang menakutkan. Setiap malam ia tak bisa memejamkan matanya.

Tapi sekali lagi ketakutannya tak terbukti. Di akhir 1945, Hye Jin melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Kim Chae Rim, seorang bayi perempuan yang besar dan sehat.

Hingga pada suatu malam Hye Jin bertanya pada Hyun Joong. “Apakah menurutmu ada yang salah dengan anak-anak?”

“Tidak. Mereka baik-baik saja.”

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Lihat saja mereka.”

“Bagaimana bisa… kita melakukan apa yang telah kita lakukan? Apa yang salah dengan diri kita?”

“Tak ada yang salah dengan diri kita.”

“Tidak Hyun… kita… kita…”

“Tenanglah, semua sudah berlalu.”

Hye Jin menjatuhkan dirinya di atas ranjang. “Kenapa aku mendengarkanmu saat itu? Harusnya kita tak menjalani ini semua.”

Hyun Joong mencoba memeluk istrinya, namun Hye Jin menepisnya kasar. “Jangan sentuh aku!”


Hye Jin mulai memperhatikan anaknya baik-baik. Namun sejauh ini selalu bertentangan dengan rasa kekhawatiran yang selalu mencekamnya. Kedua anaknya tumbuh dengan sehat. Ketika terluka, darah mereka membeku dengan cepat. Mereka juga selalu mendapatkan nilai bagus di sekolah.

Tapi semua itu tak mampu meyakinkan Hye Jin. Dia terus menunggu adanya sesuatu yang salah, sebuah penyakit, suatu penyimpangan. Ia senantiasa ketakutan, bahwa hukuman atas dosanya akan dijatuhkan dengan cara yang paling mengerikan. Tidak dibebankan pada dirinya sendiri, melainkan pada tubuh anak-anaknya.

>>>>> 

Min Ha memutuskan untuk pindah rumah rumah. Ia memberikan rumahnya yang selama ini ia tempati kepada Hye Jin. Min Ha sendiri kemudian membeli sebuah rumah di samping ‘mantan’ rumahnya. Sehingga Min Ha dan Hye Jin masih bisa untuk selalu bertemu.

>>>>> 

Ketika usia Hankyung menginjak 20 tahun, ia punya kebiasaan suka bermain biola di jendela kamarnya.

Tok tok tok!

Cklek!

Pintu kamar Hankyung terbuka, dan sosok Hye Jin muncul. Ia menghampiri Hankyung yang tengah berdiri di dekat jendela.

“Hankyung… ada Se Kyung dibawah, ia menunggumu…”

Hye Jin memicingkan matanya menatap rumah di sampingnya. Sekilas, dia mengira melihat sebentuk kepala di lantai tiga tiba-tiba merunduk, tapi ia tak begitu yakin.

“Kenapa kau selalu bermain di dekat jendela?”

“Karena panas.”

Hye Jin waspada. “Apa maksudmu dengan panas?”

“Gara-gara bermain biola,” jawab Hankyung.

Hye Jin mendengus. “Kajja, Se Kyung membawakan kue untukkmu…”


Sudah beberapa lama Hye Jin mencurigai keakraban yang semakin mendalam antara Hankyung dan Heechul. Ia merasakan perhatian Hankyung yang berlebih pada Heechul.. Chae Rim adalah teman bermain dan sahabat Heechul sejak kecil, hingga mereka beranjak dewasa. Tapi sekarang, Hankyung lah yang duduk di ayunan beranda bersama Heechul. Ketika Hye Jin bertanya pada Chae Rim kenapa ia tak pernah keluar bersama Heechul lagi, Chae Rim hanya menjawabnya singkat. “Heechul sedang sibuk.”

Inilah yang mengembalikan gangguan jantung Hye Jin. Setelah ia melakukan segalanya untuk membersihkan diri dari dosa, dan setelah ia mengijinkan seorang ahli bedah mengikat tuba falopinya, ancaman perkawinan sedarah belum juga usai. Tak banyak yang tahu jika Min Ha adalah masih termasuk sepupunya.

Maka, dicekam rasa ketakutannya, Hye Jin melakukan kembali sebuah kegiatan yang dulu pernah dicobanya. Sekali lagi, Hye Jin mengupayakan perjodohan. Hankyung harus segera dijodohkan dengan Se Kyung, anak dari kolega bisnis Hyun Joong. Yah, mereka harus secepatnya dijodohkan.
 PART 3


Heechul adalah seorang gadis remaja yang cantik. Ia menuruni kecantikan ibunya. Kulitnya putih, pinggangnya ramping, matanya bulat indah, dan lehernya sejenjang leher angsa, menyangga wajahnya yang berbentuk hati. Sedangkan Hankyung adalah namja bermata sipit yang cukup tampan.

Hingga pada suatu hari ketika Hankyung tiba dirumahnya, ia mendapati Heechul yang tengah berbaring di sofa. Tapi sosok yang dilihatnya itu tak lagi sama dengan sosok yang dulu dikenalnya.

Heechul berbaring di sofa, ia tengah membaca sebuah buku. Ia mengenakan gaun musim semi yang bermotif bunga-bunga merah. Kakinya yang telanjang menampakkan kuku-kukunya yang bercat merah. Cat kuku merah itu membuatnya nampak lebih dewasa. Sedangkan tubuhnya yang ramping dan pucat, serta lehernya yang rapuh masih tetap nampak remaja.

“Aku sedang menjaga oven,” ucap Heechul tanpa mengalihkan pandangannya.

“Kemana umma-ku?”

“Ahjumma sedang keluar.”

“Chae Rim?.”

“Mollayo…”

Heechul menatap Hankyung yang masih berdiri. “Apa itu yang kau bawa?”

“Biola…”

“Mainkan lah untukku.”

“Uhm… baiklah.”

Hankyung mengeluarkan biolanya dan mulai bermain. Nada-nada yang dimainkannya sungguh indah. Heechul dibuatnya terpesona oleh kemahirannya bermusik. Mereka sering menikmati music berdua, bahkan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh saudara sepupu

Lama-kelamaan Hankyung sering memainkan biolanya untuk Heechul. Jika sedang tidak bertemu dengan Heechul, Hankyung akan membuka jendela kamarnya dan mengalunkan nada-nada merdu dari biolanya.

>>>>> 

Sementara itu, Hye Jin gagal menjodohkan Hankyung dengan Se Kyung. Ia kembali memutar otaknya. Kini ia berencana menjodohkan Heechul dengan seorang pastur bernama Seung Hoon. Dan ternyata Seung Hoon juga tertarik pada Heechul.

Heechul dengan jelas melihat perbedaan yang mencolok diantara dua namja yang memperebutkannya. Di satu sisi keimanan, di sisi lain skeptisisme. Seung Hoon bahkan tak pernah mencoba untuk menciumnya, sementara Hankyung… ia telah menjelajahi seluruh tubuh Heechul.

Dan Heechul memutuskan memilih Seung Hoon. Tak lama kemudian keduanya bertunangan. Beberapa kali Hankyung mencoba menemui Heechul, namun tak pernah dihiraukan. Kemudian Hankyung memutuskan untuk mendaftarkan diri ke Angkatan Darat. Mungkin untuk menutupi hatinya yang sakit.

>>>>> 

Setelah kepergian Hankyung, Heechul merasakan hidupnya hampa. Tak ada lagi irama biola yang didengarnya. Setiap kali ia pergi ke suatu tempat, selalu saja tempat itu membuatnya teringat pada Hankyung, sepupunya.

Seketika airmata membasahi pipinya yang mulus. “Semua tempat yang kutuju selalu membuatku mengingat dirimu.”

“Aku tak ingin menikah dengan Seung Hoon. Aku tak ingin menjadi istri seorang pastur…”

>>>>> 

Hankyung sering mengirim surat untuk memberi kabar pada umpa-nya, selama ia berada di kamp. Dan di sebuah sore ketika musim gugur, surat dari Hankyung kembali datang.

Surat itu tak seperti surat-surat sebelumnya. Hye Jin mulai mengerti. Hankyung ditugaskan dalam peperangan. Invansi tak lagi bisa dihindari. Dengan tatapan putus asa, ia berkata, “Tuhan telah memberikan hukuman yang pantas untukku…”. Hye Jin sadar betul, ada kemungkinan Hankyung akan gugur dalam peperangan itu.

Selama beberapa hari Hye Jin hanya berdiam diri di ranjangnya. Hyun Joong pun tak berhasil membujuknya. Hingga kemudian Heechul datang menemuinya.

“Ahjumma?”

Hye Jin tetap terdiam.

“Aku ingin mengatakan sesuatu,” lanjut Heechul. “Aku ingin ahjumma menjadi orang pertama yang mengetahuinya.”

Sosok di ranjang itu tetap tak bergerak, namun Heechul tahu benar bahwa bibinya itu mendengarkannya. Ia menarik nafas perlahan.

“Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Seung Hoon…”

Keheningan menyusul. Perlahan-lahan Hye Jin bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang. “Kau tak mau menikah dengannya?”

“Dia pemuda yang cukup baik, tampan pula…” lanjut Hye Jin.

“Aku tahu itu ahjumma. Tapi… aku tidak mencintainya. Aku… aku mencintai Hankyung…”

Heechul mengira Hye Jin akan terkejut atau marah mendengar pengakuannya tersebut, tapi justru dialah yang terkejut ketika Hye Jin sepertinya tak memperdulikan pengakuan itu.

“Ahjumma mungkin tidak tahu, Hankyung pernah melamarku beberapa waktu yang lalu tapi aku menolaknya. Dan sekarang aku akan menulis surat untuknya dan mengatakan aku menerimanya…” ujar Heechul.

Hye Jin mengangkat bahunya. “Tulislah apapun yang kau mau. Hankyung tak akan menerima suratmu.”

“Kami tidak melanggar hukum atau apa. Sepupu pertama saja boleh menikah.”

Hye Jin kembali mengangkat bahunya. “Jika kau ingin menikah dengan Hankyung, kalian mendapatkan restuku.” Hye Jin membaringkan kembali tubuhnya di ranjang dan menenggelamkan wajahnya ke bantal. Ia berusaha memejamkan matanya untuk menghalau segala kepedihan dalam hidupnya. “Semoga Tuhan memberkati kalian dengan tidak memberikan anak yang akan tewas di lautan.”

Hye Jin akhirnya merestui pernihakan HanChul setelah ia menyusun berbagai cara untuk mencegahnya, karena ia pikir Hankyung tak akan selamat.

>>>>> 

Deus ex machina…

Dewa penolong akhirnya datang. Hankyung tidak jadi ditugaskan dalam peperangan. Ia mendapat surat pemindahan.

Setelah lulus, ia pun kembali ke rumah. Pada July 1979, Hankyung pun menikahi Heechul. Seung Hoon turut menghadiri pesta pernikahan itu untuk menunjukkan kebesaran hatinya. Meskipun mungkin ia merasakan luka yang teramat dalam. Dan disana ia mulai mencari-cari pengganti sang mempelai.

Chae Rim menundukkan wajahnya ketika Seung Hoon mengajaknya berdansa…


Seung Hoon mengejar-ngejar cinta Chae Rim selama dua setengah tahun lamanya. Ia bahkan melamar Chae Rim sebanyak tiga kali, namun selalu ditolak. Chae Rim menunggu kemunculan calon suami yang lebih baik, ia sendiri juga tak terlalu suka jika harus menikah dengan pastur. Tapi, tak seorang pun muncul. Atas desakan umma-nya, lagipula ia tak punya pilihan lain, Chae Rim pun memilih menyerah. Akhirnya ia menikah juga dengan Seung Hoon.

>>>>> 

Pada 1980, anak pertama HanChul lahir ke dunia. Bayi berwajah tampan itu diberi nama Kim Yoochun. Yoochun tumbuh menjadi anak periang. Ia memiliki sifat ingin tahu yang cukup tinggi. Itulah yang menyebabkan Heechul merasa kesepian. Heechul butuh seorang anak perempuan yang bisa diajaknya melakukan aktivitas para wanita. Oleh karena itu, HanChul sepakat untuk menambah anak lagi. 

Setiap hari minggu malam di kediaman keluarga Kim sangat ramai. Semua kerabat berkumpul disana, termasuk sahabat Hyun Joong yang bernama paman Lee. Paman Lee adalah seorang asisten dokter.

Dan suatu malam ketika mereka tengah berkumpul, paman Lee mengutarakan pendapatnya mengenai proses reproduksi. Ia menjelaskan, bila dilihat dengan mikroskop, sperma yang mengandung kromosom laki-laki berenang lebih cepat daripada sperma yang mengandung kromosom perempuan.

Intinya, paman Lee menyarankan pada Hankyung bahwa : untuk mendapatkan bayi perempuan, pasangan suami istri “harus melakukan hubungan seks tepat dua puluh empat jam sebelum ovulasi terjadi”. Dengan cara seperti itu sperma laki-laki yang berenang lebih cepat akan mati terlebih dahulu. Sedangkan sperma perempuan yang lambat namun kuat akan tiba tepat sebelum sel telur dilepaskan.

Hankyung menemui kesulitan saat meyakinkan Heechul untuk mengikuti petunjuk paman Lee. Karena Heechul hanya menertawakan saran itu.

Beberapa hari kemudian Hankyung pulang ke rumah dengan membawa sebuah kotak perhiasan yang diikat dengan pita. Ia memberikannya pada Heechul.

“Untuk apa ini?” tanya Heechul dengan nada curiga.

“Apa maksudmu?”

“Ini bukan hari ulang tahunku, bukan pula ulang tahun pernikahan kita. Kenapa kau memberiku hadiah?”

“Apa aku perlu alasan untuk memberimu hadiah? Ayolah, buka saja.”

Heechul mengerucutkan bibirnya, ia merasa tidak yakin. Namun akhirnya ia melepaskan pita kemudian kotak itu.

“Termometer?” tanya Heechul sembari menautkan kedua alisnya.

“Ini bukan termometer biasa. Kau akan menggunakannya untuk mencari tahu suhu dasarmu.”

“Mwo?”

“Chullie… suhu tubuhmu berubah sepanjang waktu, kau mungkin tak menyadarinya, tapi itu terjadi. Suhu tubuh selalu naik turun. Katakanlah kau sedang berovulasi, nol koma enam derajat misalnya. Nah, setelah kita tahu suhu dasarmu, kita hanya tinggal menunggu suhumu naik nol koma enam derajat. Ketika itulah kita akan melakukannya…”

Heechul tak mengatakan apapun. Ia memasukkan kembali thermometer itu ke dalam kotak kemudian menyerahkannya kembali pada suaminya.

“Baiklah,” ujar Hankyung. “Terserah kau. Kita mungkin akan mendapat anak laki-laki lagi. nomor dua. Jika itu yang kau mau, itu akan terjadi.”

Hankyung pun pergi meninggalkan Heechul yang masih diam terpaku.

>>>>> 

Dua minggu kemudian, setelah makan malam.. ketika Hankyung tengah menemani Yoochun bermain, yang saat itu Yoochun berumur empat setengah tahun… tiba-tiba Heechul menepuk pelan bahu suaminya.

“Sebentar chagi…”

Heechul kembali menepuk bahunya, kali ini lebih kears.

“Mwoya?”

“Suhu tubuhku,” sesaat Heechul terdiam. “Naik nol koma enam derajat.”

“Sekarang? Kau yakin?” bisik Hankyung.

Haeechul mengangguk lemah.

“Appa…” rengek Yoochun kecil.

“Nanti appa kembali ya Chunnie,” ucap Hankyung sambil mengacak lembut rambut putra sulungnya itu.


Di lantai atas, di kamar tidur utama, HanChul menyelesaikan misi mereka.

“Ini akan berhasil,” ujar Hankyung.

Dan memang benar, tak lama setelah itu Heechul hamil. Penantian pun dimulai.

>>>>> 

Tepat enam bulan usia kandungan Heechul, Hye Jin kembali meramal. Ia telah dua puluh tiga kali menebak dengan benar. Ia pernah meramal anak Min Ha, dan memang benar anak Min Ha berjenis kelamin perempuan yaitu Heechul. Selebihnya ia meramal anak teman-temannya di gereja. Dan kali ini Hye Jin mencoba meramal Heechul.

Heechul duduk di sebuah kursi, di kelilingi beberapa wanita dari keluarga Kim. Sebuah sendok pun berayun.

“Laki-laki!” seru Hye jin.

Semua yang ada di ruangan itu pun bersorak-sorai.

Hankyung yang mendengar hal tersebut mendekati umma-nya.

“Tidak untuk kali ini umma… umma salah. Bukan laki-laki, tapi perempuan,” ucap Hankyung yakin.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Hye Jin.

“Dengan ilmu pengetahuan.”

*****TBC*****



PART 4


Dini hari di malam musim dingin, tepatnya pada 4 Februari 1986, seorang bayi lahir ke dunia. Seoul Hospital menjadi saksi atas kelahiran itu. Heechul baru saja melahirkan anak keduanya. Seorang anak perempuan.

Setelah persalinan, dokter Han, dokter yang menangani persalinan Heechul, meletakkan bayi itu di sebuah meja untuk pemeriksaan anatomi. Ia mulai memeriksa leher, jari-jari tangan dan kaki, langit-langit mulut serta punggung bayi. Setelah itu membaringkannya dalam posisi telentang dan membuka lebar-lebar kedua kaki bayi mungil itu.

Apa yang dilihatnya? Alat kelamin perempuan yang mirip siput laut bersih, berwarna kemerahan, serta penuh hormon. Dokter itu membentangkan kaki bayi lebih lebar lagi untuk melihat lebih dalam. Namun ia tak melakukannya, karena tepat pada saat itu tanpa sengaja sasistennya menyentuh lengannya.

“Cantik,” ujar suster Shin.

Dokter Lee bermaksud memberikan pujian untuk bayi itu tapi ia mengucapkannya sambil menatap mata asistennya. (=.=’’)

“Ne, sangat cantik…”

>>>>> 

Bayi kedua HanChul tersebut diberi nama Kim Jaejoong. Jaejoong lahir dengan membawa kecantikan yang luar biasa. Matanya bulat besar seperti mata milik Heechul, hidungnya kecil mancung, kulitnya putih pucat seperti kulit Hankyung, rambutnya hitam legam, serta bibir kecilnya yang lucu. Benar-benar nyaris sempurna.

Tak lama kemudian Jaejoong pun di baptis, dan yang membaptisnya adalah Seung Hoon. Jaejoong dicelupkan ke dalam kolam pembaptisan sebanyak tiga kali, setelah itu Seung Hoon mengangkatnya ke udara. Namun naas bagi pastur itu, dari sela-sela kedua kaki gemuk milik Jaejoong, sejalur cairan bening tertembak ke udara. Di timpa cahaya lampu, selarik sirat kekuningan itu menarik perhatian semua orang. Pancaran air terbentuk melengkung dan terlontar dengan kekuatan penuh. Wajah pastur Seung Hoon pun basah kuyup, membuat beberapa orang menahan tawanya.

“Benar-benar putriku,” kelakar Hankyung. “Mengencingi pastur…”

“Itu kecelakaan, “ sahut Heechul, wajahnya merah padam karena malu. “Seung Hoon yang malang. Ia pasti tak akan pernah melupakan kejadian itu.”

“Wowww… terbangnya jauh sekali,” kata Yoochun mengagumi.

Di tengah kekacauan itu, tak ada yang pernah memikirkan konstruksi yang menyebabkan lontaran itu bisa sedemikian jauhnya.

>>>>> 

Keluarga Kim amat berbahagia. Akhinya mereka berhasil mendapatkan anak perempuan. Jaejoong pun tumbuh dengan baik. Namun, Heechul sedikit berlebihan dalam menjalaninya. Rok merah muda, renda-renda, juga pita…

>>>>> 

~~Jaejoong Pov~

Ketika umurku tujuh tahun, keluarga kami pindah rumah, tapi masih tetap di Seoul. Appa membeli sebuah unik di pinggiran kota. Sebuah rumah dengan ruangan-ruangan yang berbentuk persegi dan berpetak-petak. Rumah ini juga memiliki gazebo dan beranda belakang. Ditambah dengan luas lahan cukup di sekeliling rumah. Perancang rumah ini menamainya Middlesex.

Middlesex? Adakah orang lain yang pernah tinggal dirumah seaneh ini? Rumah yang futuristic sekaligus ketinggalan jaman. Tak ada yang tahu kenapa rumah ini dinamakan Middlesex.

>>>>> 

Dari balkon, terkadang aku melihat seorang gadis kecil sebayaku yang tinggal di samping rumahku. Dia sering terlihat di balkon rumahnya, mencabuti kelopak bunga di pot tanaman di bawah jendela. Ketika mood-nya lebih ceria, dia suka menari berputar-putar dengan lambat. Rambutnya sebahu dan berwarna kecoklatan.

Hingga suatu hari, aku melihatnya mengambil bola yang menggelinding ke halaman rumah kami. Namanya Jung Junsu.

Kami berkenalan dan sejak itu menjadi sahabat. Dia pun mengundangku ke rumahnya. Ia tinggal bersama ibunya. Dia bilang, ayah dan kakak laki-lakinya sedang berada di Paris.

Selama beberapa saat lamanya kami bermain di kamarnya. Hingga tiba-tiba dia berkata, “Kau mau belajar ciuman?”

Aku membeku. Tak tahu harus menjawab apa. Aku sudah tahu bagaimana caranya mencium. Apa lagi yang perlu dipelajari? Sementara beberapa pertanyaan berputar-putar di kepalaku, Junsu mulai melingkarkan lengannya ke leherku. Dengan ekspresi serius dia mulai menghadapkan wajahnya ke depan wajahku. Matanya mulai terpejam.

“Kau yang jadi laki-laki,” ucapnya.

Dan…. CUP~

Junsu melepaskan bibirnya. Sementara aku berdiri dengan tubuh kaku dan tatapan kosong.

“Lumayan juga untuk kali pertamamu…”

>>>>> 

“Umma…!” seruku ketika aku pulang ke rumah. “Joongie punya teman baru!”

Aku pun bercerita banyak pada umma-ku, tentang Junsu, rumah serta keluarganya. Tapi aku tak bercerita tentang ciuman kami tadi. “Umma, bolehkan aku mengajak Junsu bermain ke rumah?”

“Tentu saja boleh, Joongie boleh mngajaknya kesini,” ucap umma-ku lembut sambil mengacak rambutku. Umma merasa lega, karena aku tak akan kesepian lagi di lingkungan baru ini.


Seminggu kemudian, suatu siang di musim panas, aku dan Junsu menaiki tangga di pemandian yang terletak di belakang rumahku. Kami memasuki tempat itu, tanpa menyadari sosok yang berada di sudut gelap.

Kami berdua menenggelamkan tubuh kami di bawah timbunan busa sabun. Tiba-tiba Junsu beringsut mendekatiku. Kupikir kami akan berciuman lagi, tapi dia malah melingkarkan kedua kakinya di pinggangku. Dia menarikku ke pinggir bak, yang membuatku terjatuh ke atas tubuhnya.

Busa sabun menyelimuti kami. Dia memegang tubuhku erat, berusaha tidak melepaskan tubuh kami yang licin.

Aku tersentak kaget, kemudian berusaha melepaskan diri darinya. Dan ketika itu aku melihat seseorang bersandar di pojok ruangan.

Haraboji?

Aku terpaku tak bergerak tak bersuara. Sejak kapan haraboji disana? Apa yang dilihatnya?

Haraboji tak bergerak, posisi duduknya masih sama, wajahnya juga sepucat Junsu. Beberapa detik kemudian aku menyadari bahwa haraboji telah tiada…

Ketika keluargaku mulai mengurus kematian haraboji, aku membeku di ruangan lain. Memohon pengampunan… ini semua salahku… aku lah yang bertanggung jawab… apa yang kulakukan… dilihat haraboji. Aku bersumpah, tak akan melakukan hal bodoh seperti itu lagi… tapi tetap saja itu tak akan merubah keadaan, haraboji tak akan kembali lagi…

Tak lama setelah itu Junsu dan ibunya menyusul keluarganya yang ada di Paris.

>>>>> 

Kecantikan yang kumiliki sejak bayi semakin memancarkan auranya ketika aku tumbuh menjadi gadis kecil. Tidak mengejutkan kenapa Jung Junsu ingin menciumku. Semua orang menginginkannya. Para pelayan berumur membungkuk dalam-dalam unttuk mencatat pesananku. Para anak laki-laki, dengan wajah merah padam dan tubuh bergetar, mendatangiku dan berkata, “K-k-kau menjatuhkan penghapusmu.”

Bahkan umma yang sedang memarahiku, akan menatap mata Cleopatra-ku, kemudian akan segera melupakan amarahnya.

Selama beberapa jam, aku menghabiskan waktuku dengan mematut diri di depan cermin, mengagumi kecantikanku sendiri.

“Kyaaa… Joongie narsis,” ledek Yoochun padaku.

“Umma… oppa menggangguku!” teriakku kesal.

“Hehehe, nikmatilah wajah cantikmu itu Joongie, sebelum nanti kau jerawatan. Kelenjar sebum semua orang akan menggila ketika mereka memasuki masa puber.”

Masa puber? Apa itu? Sebuah ketakutan menantiku, karena aku tak tahu apa arti dari kalimat tersebut…

@@@@@

Ketika aku menginjak usia dua belas tahun, hari pertamaku di kelas enam. Aku melihat ada perubahan yang mencolok pada teman-temanku, terutama perempuan. Paha Yoojin semakin panjang saja, dada Shin Young juga lebih besar dari yang kulihat sebelum kami liburan musim panas. Tapi ternyata anak laki-laki juga tumbuh, ada kumis tipis di atas bibir mereka.

Aku melihat ke sekelilingku. Fisik mereka semua berubah. Hanya aku. Hanya aku yang sepertinya tidak berubah. Aku masih cantik, tapi menjadi perempuan terpendek di kelasku.

Aku teringat ketika liburan musim panas yang lalu, aku menghabiskan waktuku di kamp pramuka. Ketika Min Ah maju ke atas panggung untuk membaca puisi, dia memakai celana pendek berwarna putih. Aku dan anak-anak yang lain melihat apa yang tidak dilihat Min Ah, noda gelap membasahi bagian belakang celananya. Noda itu berkembang dan ternyata berwarnna merah. Namun Min Ah terus melanjutkan aksi panggungnya. Ketika ia menyadari tatapan kami, ia melihat ke bawah. Menjerit dan berlari turun ke panggung. Kami yang belum perpengalaman hanya terdiam, bingung, ngeri, dan berpikir, “Mungkin tertusuk pisau… atau diserang beruang.”

Setelah itu aku mengaduk-aduk isi lemariku, membuang semua yang berwarna putih. Aku tak mau kecelakaan yang menimpa Min Ah terjadi padaku. Tapi seiring berjalannya waktu, teman-temanku mulai berkembang, aku pun melupakan hal konyol itu.

Kini aku memandangi tubuhku sendiri. Masih seperti biasa. Dada yang rata, pinggang yang masih ramping, kaki yang lurus.

>>>>> 

“Hahahaha…”

Tawa umma memecah keheningan di ruang keluarga kami.

“Umma!” kataku kesal, aku mengerucutkan bibirku.

“Mianhae Joongie. Hanya saja kau… kau tak punya… kau tak punya sesuatu untuk disangga,” umma masih menahan tawanya.

Brakkkkk!

Aku membanting pintu kamarku dengan keras seteah berlari dari hadapan umma.

“Jangan bertingkah dramatis Joongie… umma akan membelikanmu bra jika kau mau.”

>>>>> 

Aku menghabiskan waktuku di kelas enam untuk menanti. Tak ada payudara. Tak ada menstruasi. Bra yang dibelikan umma untukku karena aku terus merengek pun, hanya berlaku secara teoritis. Tapi, tanpa kusadari sepasang testikel dengan seenaknya mendiami perutku, sepasang pemberontak itu berhasil menggapai tempat yang mereka dambakan.

Ketika usiaku tiga belas tahun, sedikit demi sedikit tubuhku mulai berubah. Tubuhku tumbuh menjulang tinggi, suaraku juga berubah serak, otot-ototku mulai terbentuk, serta tumbuh kumis tipis diatas bibirku.

Di malam natal, Yoochun oppa kembali ke rumah. Ia memang jarang pulang setelah kuliah di Seoul University. Dan malam itu sepertinya ia sedikit terkejut melihat perubahan pada diriku.

“Kenapa kau memandangku seperti itu?”

“Kau tak terlihat seperti adik perempuanku.”

“Apa maksudmu?”

“Entahlah. Aku sedang berusaha memikirkannya…”

>>>>> 

Di kelas sepuluh, kelasku kedatangan siswa baru. Tak kusangka dia adalah Junsu. Jung Junsu yang dulu pernah tinggal di sebelah rumahku ketika aku kecil. Ia dan keluarganya baru saja kembali dari Paris.

“Joongie… sudah lama kita tak bertemu. Nanti sepulang sekolah kau harus mampir rumahku, ne?”

“Ne Su-ie…”

>>>>> 

“Oppa…!”

Junsu melambaikan tangannya pada sesosok namja yang tengah berdiri di samping sebuah mobil sport berwarna merah.

Kuarahkan pandanganku kearah namja itu. Seorang namja tampan bertubuh tinggi tegap dengan kulitnya yang kecoklatan. Matanya tajam menatap kami.
PART 5


Orang yang di panggil oleh Junsu itu bergerak mendekati kami.

“Kau sudah pulang rupanya…” ucapnya datar.

“Ne, oppa. Oh iya, ini sahabatku Kim Jaejoong. Kami dulu sempat bertetangga.”

“Kim Jaejoong imnida,” ujarku sembari membungkukkan badanku.

“Yunho. Jung Yunho.”

Setelah berkata seperti itu, dia berlalu dari hadapan kami. Orang yang aneh. Kenapa ada orang cuek seperti itu?

“Jangan kau pedulikan oppa-ku itu, dia memang orangnya seperti itu, dingin sedingin gunung es. Kajja…”

Dan Junsu pun menyeretku ke dalam rumahnya.

>>>>> 

Kini aku berada di kamar mandi bawah tanah di sekolahku. Di tempat ini cukup sepi, aman, tak akan ada yang menemukanku disini. Disini aku sendiri, aman. Aman dari perasaan galau yang tengah kurasakan, juga aman dari penggalan percakapan yang kudengar dari umpaku.

“Aku menghawatirkan Joongie,” ucap umma. “Hingga kini ia belum juga mendapatkan menstruasinya.”

“Jangan khawatir, mungkin akan sedikit terlambat baginya,” sahut appa berusaha menenangkan.

“Apa kau tak lihat sejangkung apa dia sekarang, huh? Kupikir ada sesuatu yang salah.”

“Kalau begitu, lebih baik kita membawanya ke dokter…”

>>>>> 

Aku akan segera tiba pada moment penemuan, tentang diriku, yang telah kuketahui sebelumnya tapi aku tak pernah menyadarinya. Dan berlanjut pada penemuan umpa tentang anak macam apa yang mereka lahirkan, anak yang sama namun berbeda.

Sementara itu aku memulai menstruasi palsuku. Aku berpura-pura menderita berbagai gejala, dari sakit kepala hingga letih dan lesu. Mengeluhkan nyeri, rasa sakit di dasar perutku, serta rasa melilit yang membuatku ingin terus meringkuk di ranjang. Siklus bulananku, meski hanya imajiner, terpampang jelas di kaleder mejaku. Aku menjadwalkan mestruasiku hingga Desember, karena aku yakin saat itu menstruasi pertamaku yang sebenarnya akan benar-benar terjadi.

Tipu dayaku berhasil. Semua itu berhasil meredakan kegelisahan umma

>>>>> 

Liburan musim panas kembali datang. Junsu memaksaku untuk ikut bersamanya, berlibur di Gwangju. Dan aku tak punya pilihan lain, daripada harus terkurung dirumah, lebih baik aku menuruti ajakan itu.

Kami pergi bersama keluarga Jung. Di villa milik umpa Junsu itulah tujuan kami. Tapi ternyata tak hanya kami, seorang namja bernama Shim Changmin juga ikut. Dia adalah sahabat Yunho oppa, sekaligus namjachingu-nya Junsu.

Fiuh, lega rasanya. Kenapa aku merasa lega? Jelas saja. Kukira Junsu mempunyai kelainan alias tak normal. Ingat kan kejadian ketika kami kecil? Waktu itu aku tak bisa berbuat banyak karena aku masih polos. Tapi hingga kini aku tak tahu kenapa dia melakukan itu padaku. Aku belum berani bertanya.

“Eh, kalian mau jalan-jalan tidak?” tawar Junsu.

“Kemana?”

“Di tepi hutan sana, ada sebuah pondok kecil tempat aku biasa bermain dulu. Bagaimana?”

“Ah chagi, bilang saja kau ingin mencari tempat sepi untuk kita berduaan. Benar kan?” ucap Changmin oppa sembari melirik nakal pada kekasihnya.

“Aniyo, disana memang tempat yang bagus kok, kita bisa melihat air terjun di belakang pondok kecil itu. Kajja…”

Junsu segera menarik tanganku bersamanya. Sementara Yunho oppa dan Changmin oppa mengikuti kami dari belakang.

Kami melewati jalan setapak yang dinaungi semak belukar di sekelilingnya.

“Aaaaaaaa……”

Aku dan Junsu menjerit histeris.

 “Waeyo?” tanya Yunho oppa yang langsung mendekati kami.

“I-itu…” ujarku sambil menunjuk seekor ular belang yang tak jauh dari kami.

Yunho mengambil ranting kayu di dekat kakinya kemudian membuang ular itu. “Kalian ini menyusahkan saja. Sudah tahu ini dekat hutan, malah berjalan mendahuluiku dan Changmin. Itu tadi hanya ular kecil. Bagaimana kalau anaconda? Kalian bisa di telan hidup-hidup. Ap…”

“Argh! Oppa cerewet sekali sih,” potong Junsu.

“Kalau begitu kita pulang saja!”

“Shireo! Aku mau lihat air terjun!”

“Su-ie… kau kan tiap tahun juga melihatnya.”

“Tapi kan tahun ini belum, oppa. Please?” rayu Junsu sembari menunjukkan senyum termanisnya agar bisa meluluhkan hati Yunho oppa.

“Ne ne ne…”

Akhirnya Yunho oppa pun memilih mengalah daripada terus berdebat dengan Junsu. “Aku akan berjalan di depan bersama Jaejoong. Kau dan Changmin di belakang, ne? Agar tak terjadi hal konyol seperti tadi…”

“Ne,” jawab kami serempak.

Aku pun berjalan di samping Yunho oppa. Sesekali ia menyingkirkan ranting dan dedaunan yang menghalangi jalan kami. Tak lama kemudian sebuah pondok kecil terlihat.

“Apakah itu pondoknya?” tanyaku.

“Ne…”

Yunho oppa semakin mempercepat langkahnya hingga aku harus berlari-lari kecil untuk bisa mensejajarinya.

Sruuttttttt!

“Argh!” ringisku tertahan. Aku tak memperhatikan jalan setapak yang mulai ditumbuhi lumut. Membuatku terpeleset.

“Ada apa lagi?”

Yunho oppa berbalik dan menghampiriku.

“Joongie, kau baik-baik saja kan?” tanya Junsu penuh dengan kekhawatiran.

“Aku tak apa. Hanya terpeleset saja. Kajja, kita lanjutkan perjalanan kita.”

Aku berusaha berdiri di bantu Junsu.

“Hyung ini bagaimana sih, kau sendiri yang menyarankan kita agar berjalan dua-dua. Nyatanya malah kau yang tak bisa menjaga Jaejoong…”

“Mianhae. Ayo Jae, biar kubantu.”

Dia mengulurkan tangan kanannya padaku.

“Ah, aku baik-baik saja. Jangan khawatir.”

“Ayo, sebentar lagi kita sampai,” ucapnya sambil menggenggam jemari tanganku.

Kurasakan pipiku mulai memanas. Aish! Apa ini? Kenapa aku merasa sangat gugup. Sekilas kulihat tanganku dan tangan Yunho oppa yang saling bertautan. Hangat. Itulah yang kurasakan dari tangan kekar itu.

Kim Jaejoong! Hilangkan pikiran-pikiran aneh itu dari otakmu! Hilangkan!

Aku bergelut dengan pikiranku sendiri hingga tak kusadari kami sudah sampai di tujuan.

“Dimana air terjunnya?” tanyaku.

“Kita bisa melihatnya dari belakang pondok ini. Kau ingin melihatnya sekarang?”

Aku mengangguk kecil.

“Oppa, Joongie… tunggu!” teriak Junsu dan Changmin yang sedikit jauh di belakang kami.


“Wowwwww… indah sekali!” ujarku terkagum-kagum akan keindahan alam di depan mataku. Kini kami berdiri di bawah air terjun itu. Merasakan sapuan angin yang membawa bulir-bulir air.

“Minnie! Ayo kejar aku!” teriak Junsu manja pada kekasihnya. Sesekali Junsu menyipratkan air kearahnya.

“Yak, chagi! Aku basah nih,” gerutu Changmin oppa.

Aku hanya terkekeh melihat kelakuan sepasang kekasih yang aneh itu. Mereka bermain-main air hingga tubuh mereka basah kuyup.

“Kau tak ikut mereka bermain air?”

“Eh?”

Aku memalingkan wajahku dan melihat Yunho oppa yang berjalan mendekatiku, kemudian ia mendudukkan dirinya tepat di sebelah kananku.

“Hampir setiap tahun aku dan Junsu pergi kesini. Aku sudah bosan. Tapi entahlah, sepertinya tempat ini adalah agenda wajib bagi Junsu…”

“Ternyata oppa ramah juga yah?”

Aku menatapnya sambil tersenyum kecil. “Ketika pertama bertemu, kupikir oppa adalah tipekal orang yang sangat cuek…”

“Begitu kah?”

“Ne…”

“…”

Sesaat keheningan menyelimuti kami berdua. Tak ada yang berniat membuka pembicaraan. Aku sendiri tengah bergelut dengan jantungku, mencoba menenangkannya.

Aigo! Ada apa denganku? Kenapa setiap kali aku berada di dekat Yunho oppa perasaanku seperti ini? Aku tak tahu. (Ree tau umma… hati Ree juga berdebar-debar waktu liat appa :D #plakkkk)

“Uhm, Jae…joong…”

“Ye?”

Aku menolehkan wajahku ketika dia tiba-tiba berucap. Dan itu membuat mata kami saling beradu. Bisa kulihat dengan mataku ini, lekuk-lekuk wajah tampannya. Ya tampan. Dia sangat tampan. Wajahnya yang kecil dengan sepasang mata sipit dan tajam seperti mata musang, hidungnya yang mancung. Kemudian bibirnya juga tak lepas dari penglihatanku. Bibir tebalnya yang berbentuk hati. Semua itu terangkai dengan indah dalam bentuk wajah seorang Jung Yunho. (cakepppp… Ree ampe mimisan ;D)

“Errr… kau…”

“Oppa!”

Junsu kembali berteriak dengan suaranya yang mirip lumba-lumba.

“WAE!” sahut Yunho oppa tak kalah kerasnya dengan suara Junsu. Sepertinya ia sedikit menahan emosi.

“Ayo kalian kesini. Masa’ hanya kami yang basah-basahan?”

“ANDWE! Aku tak menyuruhmu kan! Lagi pula rencana kita semula hanya untuk melihat air terjun saja. Aku tak mau tahu jika kalian bedua nanti sakit!”

Tiba-tiba…

Jeder-jederrrrrrr…./crashhhhhhhhhh (suara hujan diiringi petir menyambar-nyambar :D lebai deh, bwakakaka =,=)
“Su-ie… Minnie! Cepat naik!” seru Yunho oppa pada MinSu yang masih berada di air. Beberapa saat kemudian mereka berhasil mencapai tepi.

Kami segera berlari mencari tempat berteduh. Untungnya pondok kecil itu tak jauh. Kami segera menuju kesana.

“Kajja, semuanya masuk!” perintah Yunho.

Kami semua pun masuk ke dalam pondok kecil itu. Meskipun kecil, tapi pondok itu cukup terawat. Entah siapa yang merawatnya.

“Aigo! Bagaimana ini hyung? Di luar hujan deras sekali. Kita tak mungkin bisa segera pulang.”

“Molla, Min… itu berarti kita harus menunggu hingga hujan reda,” ucap Yunho lesu.

Kami pun terdiam dalam keheningan. Duduk merapat di pojok ruangan, mencari kehangatan yang ada.

“Hacuiihhhhh…!” :D

“Tadi kan sudah ku bilang, jangan bermain air. Sekarang kalian tanggung sendiri akibatnya.”

“Yah oppa, kenapa kau marah-marah pada kami seperti itu? Kami kan juga tak tahu kalau akan seperti ini.”

“Su-ie… ini… pakailah jaketku agar kau tak semakin kedinginan.”

Kuserahkan jaket tipisku padanya.

“Gomawo Joongie.”

“Cheonma…”

“Minnie! Masih dingin…”

“Yak, kemarilah. Aku akan memelukmu agar kau merasa sedikit hangat.”

Junsu pun beringsut mendekat kearah Changmin. Ia lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang milik kekasihnya.

Sementara itu aku terdiam di tempatku sekarang. Yunho oppa kembali duduk di sampingku.

“Harusnya kau tak usah pedulikan duck-butt itu. Salahnya sendiri tadi hingga ia basah kuyup…”

“Oppa jahat sekali pada Junsu. Kasihan Junsu kan…”

“Ne… tapi kan sekarang kau yang akan kedinginan…”

“Uhm, tak apa. Lagi pula baju yang kukenakan ini tidak basah. Sedangkan baju yang di pakai Junsu sudah basah kuyup tuh. Kasihan jika dia nanti sakit.”

“Junsu harus bersyukur memiliki sahabat sepertimu.”

“Eh?”

“Kau tak hanya cantik di wajahmu, tapi juga di hatimu…” (kyaaaaa…. Melting :DD)

“…”

Seketika kupalingkan wajahku darinya. Aigo! Apa yang baru saja dikatakannya? Kenapa dia semakin membuat hatiku seperti di guncang ombak seperti ini, huh? Apakah di pipiku muncul semburat warna merah?

Grep!

Dia menggenggam lembut tanganku. Membuatku menolehkan lagi wajahku. Dia menatapku… tersenyum…

“Mmmmpphhh…ccckkppmmhhh… enggghmmmcckkkpp…”

Suara berisik itu membuat kami mengalihkan pandangan kami. Sebuah pemandangan tersaji di depan mata. Di seberang ruangan, nampak MinSu yang sedang berciuman panas.

“Euunnnnggghhhhhhhhh…”

Terdengar lenguhan dari bibir Junsu, ketika tangan panjang milik Changmin oppa masuk ke dalam kaus yang dikenakan Junsu. =,=

“Yak! Kalian berdua! Jangan melakukan hal yang lebih jauh dari ciuman!” tegur Yunho oppa.

Tapi mereka berdua terlihat tak memperdulikan ucapan Yunho oppa.

“Aish! Mereka itu…”

Aku yang hendak membenahi ikatan rambutku, secara tak sengaja sikutku menyenggol dadanya pelan.

“Ah mianhae oppa…”

“Gwaenchana…”

“…”

“…”

“Hacuiiihhhh!”

Aku mengusap-usap hidungku dengan kedua tangan. Berharap rasa dingin segera lenyap.

 “Lihat wajahmu itu, apa dingin sekali?”

“Aniyo…”

GREP!

DEG!

Tiba-tiba saja Yunho oppa menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Tapi beberapa detik kemudian seulas senyum tersungging di bibirku.

“Hangat… jeongmal gomawoyo… Yunho oppa…”

“Saranghaeyo… Kim Jaejoong…”

DEG!

“M-mwo?” tanyaku kembali, takut aku hanya salah dengar.

Mata kami kembali beradu.

“Saranghae…” ucapnya sembari mengecup lembut keningku.

DEG!

Selama beberapa detik kupandangi sosok tampan yang tengah memelukku ini.

“Oppa…mpphhhh…. Hhhppp….”

Ucapanku tertahan karena ia mulai membungkamku dengan bibirnya. Ia memijit-mijit bibir atas dan bawahku bergantian. Sesekali ia juga melumat bibirku. Membuatku mendesah tertahan.

Hawa dingin yang sedari tadi terus menyelimuti kami seakan menguap begitu saja. Aku tak tahu. Seakan tubuhku tak lagi bertenaga ketika Yunho oppa mulai memberikan sentuhan-sentuhan lembutnya.

“Nado… nado saranghae… oppa…”

Mendengar jawabanku yang seakan memberinya lampu hijau, Yunho oppa kembali melumat bibirku, seakan bibirku ini adalah candu baginya.

Melalui sudut mataku juga, kulihat MinSu telah lebih jauh melangkah. Changmin oppa telah melepas kaos yang dipakainya, dan kini sedang berada di atas Junsu yang terlentang di lantai. MWO? Apa yang mereka lakukan?

“Hmpp… ccckkkkmppp….”

Ah, Yunho oppa! You’re the best kisser! :D (Appa… Ree jg mauuuu #plakkkkkk :D)

Makin lama aku semakin terbawa suasana.

“Ahhh… oppaaaaaa….”

Tubuhku mengelijang hebat ketika dia menyusuri leher, bahu, hingga tengkukku dengan bibirnya. Sementara tangannya mulai menyusup ke belakang bajuku, kemudian membuka pengait bra-ku.

“Jangan!” sergahku. Aku takut jika ia menemukan buntelan kapas di dalam bra-ku. (umma kan dada’y rata, bwakakaka :D lol)

Ia pun mengerti. Ia merebahkanku perlahan di lantai tanpa melepas ciuman kami. Kini posisiku sama seperti Junsu.

Yunho oppa berada di atas tubuhku, membuat bagian sensitifnya bergesekan dengan perutku. Kemudian ia menuntun tanganku ke dadanya. Awalnya aku tak mengerti. Namun ia menuntun jemari lentikku untuk membuka kancing-kancing kemejanya. Perlahan kulepaskan kancing-kancing itu, lalu membantunya melepas kemeja. Sekarang, ia telah menanggalkan kemeja yang dipakainya, menampakkan tubuhnya yang manly. Otot-ototnya sudah mulai terbentuk.

Aku yang terbius oleh ciuman-ciuman panasnya juga sentuhan lembutnya yang membuatku membatu, tak bisa berbuat banyak. Yang sekarang aku lakukan adalah mencoba mengikuti alur permainannya. Kuelus dada bidangnya, dan sesekali menjepit nipple-nya dengan jariku.

Yunho oppa bergerak cukup cepat. Ia telah melepas celana jeans-ku. Sesaat ia menaikkan kaos-ku sedikit ke atas dan membelai perut rampingku. Kini ia mencengkeram kuat celana dalamku kemudian melepasnya.

BLES!

“Arggghhhhhhh!” jeritku kesakitan.

Sebuah benda tumpul tiba-tiba masuk ke dalam vagina-ku tanpa aba-aba terlebih dahulu.

Sakit, nyeri. Nyeri seperti tusukan pisau. Nyeri seperti sengatan api. Dia mengoyakku. Menggoyangkan pinggulnya dan sesekali menyentakkan benda privat miliknya. Dia membelah perutku hingga aku bisa merasakannya di dadaku.

Tiba-tiba…

DEG!!!

Aku terkesiap kaget. Kubuka mataku yang sebelumnya terpejam. Aku menengadah, dan kulihat Yunho oppa tengah menatapku. Mata kami sekali lagi saling beradu, dan aku tahu bahwa dia sekarang tahu. Dia tahu apa sebenarnya diriku, karena tiba-tiba aku juga tahu. Untuk pertama kalinya aku tahu bahwa aku bukanlah… aku bukanlah seorang... yeoja… namun sesuatu diantara kedua kelamin yang ada.

Semua ini terjadi selama sepersekian detik. Aku mendorongnya, menjauhkannya dariku. Dia terhuyung ke lantai.

Hening. Kami berdua mengatur nafas kami masing-masing. Aku mengenakan kembali pakaianku. Kemudian menenggelamkan kepalaku diantara kedua lututku…

*****TBC*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar